Melihat temen-temen gue semasa di pondok
pesantren suka dengan kegiatan mendaki gunung, gue jadi penasaran. Emang
sebegitu menyenangkannya ya naik gunung? Padahal butuh waktu lama untuk bisa
sampai ke puncaknya. Rasanya memang keren, bisa melihat matahari di puncak
gunung bersama kawan-kawan lainnya. Apalagi setelah itu, banyak yang menyukai
fotonya di Instagram. Double kebahagian.
Tapi, saat liburan kemarin ketika orangtua gue
tau bahwa anak lelakinya ingin mendaki gunung, jawaban nyokap,
‘Mendingan kamu jemur handuk kamu sana, enggak
usah sok-sokan naik gunung’
Sedewasa apapun seorang anak, akan terlihat
seperti anak kecil di mata orangtua. Bukan Cuma gue doang yang merasa seperti
ini kan? Kalian juga kan? Cuman gue doing? Serius lu enggak? Ini enggak ada
yang mau nemenin gue emangnya?
Nanya lagi, gue jadiin
sayur lu, mat
**
Akhir Januari kemarin, gue serta adik gue
akhirnya bisa liburan keluar kota. Setelah berbulan-bulan kita berhemat dengan makan
mie rebus, akhirnya kita punya tabungan yang cukup untuk bisa pergi ke kota
yang sangat istimewa di Mesir. Kota yang berbatasan dengan Negara Israel ini
bernama Sinai. Dan tujuan kita kesini tidak lain adalah untuk mendaki gunung
Sinai.
Apakah gue dan adik gue diizinkan? Oh pastinya.
Sebenernya gue enggak tau juga sih gimana tanggapan orangtua gue saat itu.
Karena kami tidak bilang-bilang ke mereka. Naluri lelaki gue saat itu lebih memilih
untuk meminta maaf, ketimbang minta izin kepada mereka.
**
Seperti biasanya adik gue akan mulai meneror
hape gue dengan bermacam chat serta
telfon, menyuruh kakaknya agar tidak tidur setelah shalat shubuh dan
mempersiapkan berbagai peralatan yang akan dibawa untuk tiga hari kedepan. Di
jadwal, kami akan berangkat jam tujuh pagi. Dan jarak rumah gue dengan titik
temu lumayan jauh, kira-kira dua hari. Engga deng. Boong.
Engga lucu, su
Cukup banyak kaus yang gue bawa, karena temen
gue telah mengingatkan bahwa di puncak Sinai itu dinginnya bikin mampus.
Walaupun badan gue lumayan punya lemak berlebih, tapi gue lebih memilih untuk
mengikuti petunjuk temen gue si Rido. Sarung tangan sudah, sorban sebagai penutup kepala pun sudah, dan celana
dalem juga enggak lupa gue masukkan ke dalam tas. Segala perlengkapan telah siap dibawa. Gue siap untuk mendaki
puncak gunung Sinai.
Perjalanan menuju Sinai memakan waktu kurang
lebih sekitar 10 jam. Kali ini gue serta adik gue ikut jasa travel, para
pesertanya pun lebih banyak yang berasal dari Negara Malaysia serta beberapa
dari Thailand. Tapi para tour guide nya
berasal dari Indonesia. Dan sebetulnya mereka adalah senior dan junior gue
ketika di pondok pesantren dulu.
Sebelum sampai ke Sinai, kami melewati banteng
Berlief yang dulunya merupakan benteng yang dibangun oleh Israel ketika merebut
kota Sinai dari Mesir. Kami pun sempat mengunjungi air mata Nabi Musa. Ingat
engga ayat di Al-Quran yang menerangkan bahwa nabi Musa diperintahkan oleh
Allah untuk memukul tongkatnya ke batu dan kemudian mengeluarkan mata air?
Jam delapan malam rombongan kami sampai di
hotel, dan tengah malam nanti kami akan mulai mendaki puncak gunung Sinai. Tas-tas yang kami pun nantinya akan ditaruh di bis. Kita hanya membawa badan untuk menuju puncak gunung. Gue
mulai membenarkan perkataan Rido tentang udara disini. Hawa dingin di Sinai
jauh berbeda dengan yang ada di Kairo.
Bukannya tidur gue malah sibuk dengan kamar
mandi karena sejak dari tadi gue buang air besar. Emang asyu. Biasanya kalau
dingin seperti ini gue akan menjauhi kamar mandi, mandi pun paling hanya tiga
kali dalam seminggu. Dan selalu menjaga air wudhu. Alasannya supaya gue enggak
sering-sering bersentuhan dengan air. Disini malah sebaliknya. Lebih sering ke kamar mandi. Mantap jiwa.
Apakah ini bertanda buruk?
**
Pakaian yang gue kenakan untuk mendaki sudah
lima lapis kaus, termasuk jaket. Perjalanan ini seharusnya mudah, karena gue
lumayan sering olahraga serta berat badan gue telah turun 5kg sejak kepulangan
dari liburan kemarin. Walaupun masih tetep gemuk juga sih. Selain rombongan kami, masih
ada empat rombongan lainnya yang akan mendaki malam ini. Ketika gue melihat
orang Mesir yang mengawal rombongan kami, gue merasa sangat cupu sekali. Mereka
hanya menggunakan gamis, jaket kulit, serta sorban yang diikat di kepalanya.
Bandingkan dengan pakaian yang gue pakai. Sedih uy, gue enggak ada
macho-machonya sedikit pun.
Seinget gue ada lima pos sepanjang perjalanan
menuju puncak gunung ini. Setiap bertemu dengan pos, pantat gue merasa gembira
karena akhirnya bisa duduk sejenak menghilangkan rasa pegal-pegal. Sepanjang
perjalanan banyak para penyewa unta yang menawarkan ke para pendaki. Kalau
boleh milih, gue ingin menaiki unta itu agar cepat sampai ke puncak. Berhubung
di rombongan ini ada adik gue dan dua orang temannya, Didi dan Diba, serta senior di pondok, gue lebih memilih untuk jalan
kaki. Persetan dengan pegal-pegal di kaki, gue bakalan bisa sampai puncak tanpa
menaiki unta!
Adik gue dua kali muntah sepanjang perjalanan.
Dan untungnya enggak muntah dipakaian yang gue kenakan. Hanya butuh lima jam
untuk sampai ke puncak sebetulnya, tapi gue lebih sering duduk dan menemani
adik gue sepanjang perjalanan. Saat kami istirahat di pos ketiga, pertanda
buruk mulai muncul lagi. Celana yang gue kenakan robek tepat dibagian bawah
pantat. Enggak usah dibayangin juga lah ya. Gue pakai celana pendek kok. Tapi berhubung
saat itu memang gelap gulita, gue santai saja dengan celana yang gue gunakan.
Enggak akan ada yang liat juga. Lagian siapa juga sih, yang memperhatikan
pantat orang lain hah?
Malam itu kami cukup beruntung karena bisa
melihat salju di puncak Sinai. Enggak setebal di kutub utara juga, seenggaknya
gue sudah enggak penasaran dengan bentuk salju. Ternyata bentuknya kurang lebih
sama seperti es yang ada di kulkas. Gue kira setelah sampai di pos keempat,
jarak menuju puncak Sinai akan dekat. Tapi enggak, nyet. Asli. Sejauh
perjalanan yang telah gue tempuh, bagian ini yang paling menguji mental serta
tenaga.
Didepan gue sekarang telah ada anak tangga yang
ujungnya engga kelihatan. Yang gue bisa lihat saat itu hanyalah orang dari
rombongan lain, yang jaraknya sangat tinggi dari posisi gue berdiri sekarang.
Baru kali ini, gue mau nangis melihat betapa banyaknya anak tangga yang akan
gue naiki. Pemandu rombongan gue dari orang Mesir pun telah menyuruh kami untuk
beranjak dari pos ke empat menuju ke puncak Sinai. Mereka bilang,
“Isyrin
daiah kaman. Yalla yalla”
(Dua puluh menit lagi cuy. Ayo semangat sobat
miskinqu)
Setelah mendengar perkataan si orang Mesir,
Mahmud, gue bersemangat untuk cepat menaiki anak tangga ini. Begitu juga dengan
adik gue. Saat itu perlahan tapi pasti, kami menaiki tangga sedikit demi
sedikit, beberapa orang yang beristirahat telah kami lalui. Gue makin
bersemangat dan merasa bahwa diri gue memang telah ditakdirkan untuk menjadi
pendaki gunung Sinai.
Nggilani
Ketika gue melihat kebelakang, sudah lumayan
banyak anak tangga yang telah gue naiki. Sekitar 20. Sedikit, tapi muka gue
penuh dengan kebahagiaan. Setelah kepala gue arahkan ke atas, gue mau nangis. Rasanya kaki ini nggak mau melangkah menaiki anak tangga. Asyu masih jauh banget gilak hoi! Allahu akbar.
Rasanya gue mau rebahan aja di anak tangga. Gelinding-gelinding dah bodo amat.
Si Mahmud kampret juga sih, ngomongnya dua puluh menit untuk ukuran dia yang
emang sering naik-turun puncak Sinai dari umur 10 tahun. Nah kalau gue serta
rombongan lain yang berkekuatan minimalis, enggak cukup dua puluh menit. Kita
butuh dua bulan!
Enggak sih. Alay aja
lu
Di anak tangga ini gue enggak bareng dengan
adik gue si Faizah. Dia masih cukup jauh dibawah sana, sedangkan gue hampir
menaiki setengah anak tangga menuju puncak. Ketika disini fikiran-fikiran
tentang kenikmatan menaiki gunung terbantahkan semua. Gue enggak akan lagi mau
naik gunung. Cape anjir. Setelah gue perhatikan para pendaki yang akan melewati
gue, adik gue serta temannya telah glayutan di badan Mahmud. Apa ya bahasa yang
cocok glayutan? Pegangan. Nah itu.
Langkah
kaki gue mulai dipercepat, karena selain adik gue akan menyusul, hampir
sebagian banyak dari rombongan gue telah sampai di pos terakhir. Mau cepet
gimana pun, memang butuh waktu untuk gue supaya bisa terus melangkah. Setelah
penuh perjuangan, akhirnya gue bisa sampai di pos terakhir. Tapi anehnya, gue
malah enggak melihat rombongan gue. Udara dingin malam ini semakin menjadi-jadi.
Ingin tidur, tapi udaranya kebangetan dingin. Setelah gue periksa disekitar,
ternyata rombongan gue telah berada didalam warung. Sialan. Ternyata warung ini
mempunya ruang yang cukup luas dan terdapat bangku panjang dibagian sampingnya.
Kebanyakan dari mereka sedang menyantap mie rebus serta meminum teh hangat. Dan
ada juga yang sedang asyik tidur dengan selimut.
Gue sendiri bingung mau ngapain. Mau tidur tapi
kedinginan. Enggak nafsu makan. Cuma duduk, dan kemudian tanpa sadar mulai
angguk-angguk karena mengantuk. Di pos ini gue sudah enggak peduli untuk naik ke puncak.
Bodo amat lah, gue udah kedinginan kayak gini. Saat matahari sudah akan mulai
terbit, rombongan gue mulai meninggalkan warung dan beranjak naik ke atas. Adik
gue membangunkan gue untuk mengikuti rombongan lainnya. Seandainya enggak
dibangunin gue yakin, gue bakalan masih asik tidur sambil kedinginan di warung
itu.
Untuk naiknya enggak makan waktu lama. Beneran
deket. Tapi karena dasarnya gue yang baru bangun, jadi suhu udaranya terasa
lebih dingin untuk gue. Untungnya adik gue masih asik berfoto ria bareng
teman-temannya, jadi gue bisa menyusul mereka. Ketika sampai, temen adik gue si
Didi memberi tau bahwa celana gue robek. Dan temen adik gue yang lainnya
memberikan gue selimut tipis yang gue ikat di pinggang gue untuk menutupi
robekan di celana.
Gue bersyukur karena bisa menghilangkan fikiran
negatif di pos kelima tadi. Fikiran bahwa gue enggak sanggup mendaki sampai
puncak, akhirnya bisa teratasi. Gue bakalan menyesal banget kalau enggak naik,
karena,
‘Men, keren banget pemandangannya!!!’
Tapi tetep sih, gue enggak bakalan mau naik
gunung lagi.
**
Ketika turun gunung, gue baru melihat ternyata
perjalanan yang gue lalui cukup jauh. Pagi hari di gunung Sinai dengan pakain
berlapis lima cuma menyiksa diri. Udaranya panas menyengat. Terlebih lagi,
disini kan berbeda dengan gunung yang berada di Indonesia. Disini enggak ada
pohon-pohon tinggi. Sepanjang perjalanan hanya bebatuan, serta kotoran unta.
Saat
berganti pakaian di kamar mandi, gue baru sadar. Ternyata robekan di celana gue
gede banget bgst. Pantesan si Didi tau. Anjir malu banget. Untung aja gue masih
pake celana pendek.
Gue baru sadar, ternyata untuk mendaki gunung itu yang gue lawan adalah fikiran negatif yang gue bikin sendiri. Dan dengan ini gue juga sadar, bahwa betapa dahsyat ciptaan Tuhan. Kayaknya gue bakalan nyoba untuk mendaki gunung ketika liburan di Indonesia nanti. Tapi kalau gue udah siap mental juga sih. Ehe.
Setelah tau anak-anaknya mendaki puncak Sinai, orangtua gue ternyata malah enggak marah-marah. Atau bisa jadi karena adek gue ikutan juga, jadi gue enggak kena marah. Ah tau gini gue minta izin ke mereka. Mungkin enggak bakalan ada adegan perut gue mules di malam hari dan celana robek ketika mendaki.
Jadi gimana? Tertarik untuk mendaki gunung enggak?
Tags:
Travel
Gak minat juga sih daki gunung, mending denger kaya nyokap: tuh jemur handuk atau jemur kain cucian haha..
ReplyDeletetapi setelah w baca keseluruhan, adik lu gak pernah ngomel deh, dia muntah selama pendakian malah biasa aja. Berarti emang niat lu aja harus dibenerin, biar hal-hal buruk gak datang silih berganti.
Masya Allah cantik pemandangan nya, wahai Bukit Sinai ^^
iya. emang gue nya aja yang sering negatif thinking emang _ _"
DeleteGunung di sinai ada indomaret ngk ?
ReplyDeleteGue suka naik gunung tapi ngk sukanya pas turun, takut bok pernah gelindingan ampe masuk jurang. :'( padahal gunungnya juga ngk tinggi2 amat...
belom. rencananya tahun 2055 baru mau dibikin
Deletecobain lagi. siapa tau gelinding kali ini engga lebih parah dari sebelumnya
Seru juga naik gunungnya di Sinai, bisa dapet lihat salju disana
ReplyDeletesangat bagus dan menarik untuk dikunjungi...
ReplyDelete