Udah lumayan juga nih gue enggak nulis di blog.
Udah bayar domain tapi enggak digunakan semaksimal mungkin. Memang pintar
sekali kau, Tomat.
Mau denger alasan kenapa gue enggak nulis?
Karena kemarin itu gue UAS dan selesai ketika
tanggal 11 Juni kemarin.
Karena gue nya aja yang males sih.
Ehe.
Enggak berguna ya alasannya? Bodo.
**
Banyak kejadian menarik di bulan puasa kemarin.
Selain berat badan gue yang berkurang sebanyak lima kilogram, ada satu kejadian
yang menyebalkan di bulan lalu.
Jadi, karena kami para mahasiswa Al-Azhar masih
menjalani UAS sampai pertengahan Ramadhan, diadakanlah piket masak khusus
ketika sahur saja. Diantara anak rumah lainnya, sepertinya gue adalah orang
yang paling enggak bersemangat untuk bertugas menyediakan makanan untuk
anak-anak rumah. Selain karena menu makanan yang bisa gue masak hanya itu-itu
saja, sejujurnya gue masih trauma untuk masak.
Sampai saat ini, gue masih ingat dengan reaksi
teman-teman gue ketika mencicipi makanan yang gue buat dulu. Raut mukanya kecut,
enggak ada kecerian yang bisa gue temui di wajahnya. Padahal ketika masak, gue
cukup yakin bahwa makanan gue akan cepat habis karena anak rumah sudah
berteriak kelaparan. Kenyataannya malah tidak seperti itu. Dari delapan orang
anak rumah, hanya satu orang yang memakan hasil karya gue. Itu pun juga sedikit
banget.
Dan ketika gue mencoba memakan hasil masakan
gue sendiri, gue mulai setuju dengan reaksi yang ditampakkan oleh temen-temen
gue yang lain.
“Asin banget bgst” Maki gue dalam hati.
Padahal kejadian itu sudah lama terjadi, dan
sebutulnya hal yang wajar. Karena itu adalah pertama kalinya gue masak, dan
kalau hasilnya pun enggak enak, ya santai aja. Kan yang seperti itu bukan gue
doang. Bener kan?
Ya kan?
Atau cuman gue doang lagi?
Oh shyit.
Mungkin yang bikin gue terlihat kurangajar,
karena gue terlalu percaya diri dengan masakan yang gue buat dan menyombongkan
hal itu kepada teman-teman gue yang lain. Sekarang kalau teman-teman gue sedang
membicarakan menu masak, gue berusaha enggak ikutan gabung dengan obrolan
mereka.
**
Akhir bulan Mei kemarin, keuangan gue sedang
tidak baik. Gue ingat, di awal bulan serta pertengah bulan, gue terlalu sering
membeli cemilan serta rokok. Dua halitu yang membuat keuangan gue menipis. Dan
akibatnya, selama dua minggu terakhir gue harus menghemat uang yang gue punya.
Untung saja di bulan puasa kemarin, undangan untuk berbuka puasa bersama jauh
lebih sedikit ketimbang tahun-tahun sebelumnya, sehingga gue bisa lebih
menghemat uang yang gue punya.
Tepat delapan hari sebelum bulan Mei berakhir,
giliran gue untuk menjadi piket masak. Uang enggak ada, teman-teman di rumah
ujian semua, mantap. Gue kefikiran untuk memasak indomie rebus serta telur
goreng, tapi langsung gue tolak mentah-mentah. Karena kalau difikir lagi,
kasihan teman-teman gue ini. Takutnya enggak khusyuk dengan belajarnya, dan
mengganggu ujiannya, karena mendapatkan asupan gizi yang tidak baik dari
indomie rebus serta telur goreng. Hanya karbohidrat, dan sedikit protein. Maka
dari itu gue putuskan untuk menjual diri meminjam uang.
**
giphy.com |
Di hari sebelumnya, gue telah membeli seekor
ayam yang nantinya akan gue masak ketika sahur. Piket kali ini sepertinya gue
cukup niat, karena selain meminjam uang, gue pun membeli lauk cukup jauh dari
rumah. Alasannya, ya karena di sekitar rumah gue harga ayam jauh lebih mahal
ketimbang di pasar deket rumah adek gue. Kira-kira kalau gue contohkan seperti
ini,
Rumah gue yang sekarang itu ada di daerah
ciputat. Sedangkan rumah adek gue berada di kebayoran lama.
Gimana, sudah dapet bayangannya?
**
Berhubung gue satu rumah dengan orang yang jago
masak, gue yakin masakan gue saat sahur nanti enggak akan seburuk seperti piket
masak yang sebelumnya.
“Zi, lu piket ya nanti sahur? Gue hari ini aja
ya, lusa gue ujian soalnya. Jadi gue dulu aja ya” ucap temen gue.
“Oh oke”
Niatan gue untuk masak sepertinya harus
ditunda. Jadwal ujian disini memang berbeda tiap fakultas. Fakultas gue
sendiri, hanya dua kali dalam seminggu. Sedangkan teman gue ini jadwal ujiannya
seperti layaknya puasa Daud. Hari ini masuk, besok enggak, kemudian masuk lagi.
Selang-seling gitu. Sekarang gue harus mencoba mengerti posisi teman gue ini,
si Huda, yang terkenal dengan mandinya yang amat sangat lama. Bisa setengah jam
sendiri, nying.
Toh gue sudah beli lauk juga, jadi besok enggak
perlu pergi jauh-jauh lagi untuk mencari bahan masak. Yang penting lauknya gue
taruh di kulkas saja malam ini.
**
Jam dua malam, gue baru bangun. Rumah gue
memang sepertinya selalu ada saja yang enggak tidur sampai waktu shubuh. Jadi
enggak ada rasa takut terlambat bangun sahur.
Nampan sudah ditaruh di lantai. Nasi didalam
magic jar pun telah matang, walaupun biasanya anak rumah beberapa kali tidak
menekan tombol agar nasinya dimasak, namun kali ini kesalahan itu enggak
terjadi. Gue sendiri, lebih penasaran dengan makanan yang akan dimasak oleh si
Huda. Karena yang gue liat, dia enggak membeli lauk sama sekali. Mungkin saja,
dia berbelanja saat gue tidur. Enggak tau juga kan?
Badan gue diam di tempat saat melihat Huda
membawa panci yang berisikan ayam kecap. Feeling
gue mengatakan bahwa ayam yang telah dilumuri oleh kecap adalah milik gue. Rasa
ngantuk gue langsung hilang, digantikan oleh rasa penasaran dan rasa gundah
gulana.
Alay
Anak rumah dengan semangat memakan menu sahur,
tapi gue justru kebalikannya. Walaupun enggak terlalu semangat, bukan berarti
gue enggak makan juga. Tetep makan kok, kan laper juga aing. Saat makan bareng seperti ini, seharusnya gue enggak usah
memikirkan hal lain, fokus dengan makanan. Karena anak rumah gue memang
mirip-mirip badak kalau urusan makan. Semuanya disikat. Meleng dikit, gue
enggak kehabisan lauk.
**
“Kabur kemana ayam gue kampret?!!”
Ucapan pertama kali yang muncul sesaat gue
tidak melihat plastik hitam yang membungkus ayam gue di kulkas. Ketika Huda
datang ke dapur sambil membawa nampan yang ingin di cuci, saat itu juga gue
bertanya ke orang ini. Dan, iya bener. Dia yang memasak ayam hasil dari uang
pinjaman ke teman gue. Apakah gue kesel? YA IYALAH. Apakah gue memaki-maki si
Huda? Tentu tidak. Dia tipikal manusia yang lurus-lurus saja, dan gue sendiri
pun merasa ini bukan kesalahan dia sepenuhnya. Kenapa plastiknya enggak gue
kasih tanda kalau itu adalah bahan makanan yang akan gue masak saat sahur
nanti.
Pengen ngamuk, tapi kayaknya enggak berguna
juga. Dan sepertinya enggak akan di respon juga. Gue hanya bisa ngomong sendiri
di kamar mirip orang gila, sambil memikirkan sahur besok akan masak apa.
giphy.com |
.
.
.
Keesokan harinya saat piket sahur gue memasak
nugget serta telor. Apakah bergizi? Bodo amat. Gue enggak peduli juga mau
bergizi atau enggak. Yang gue fikirkan adalah apakah gue bisa bertahan hidup
dengan uang lima pound untuk seminggu kedepan. Lima pound itu sekitar goceng,
kalau kalian penasaran.
Ternyata yang dikira milik kita, bisa jadi
hanya berupa titipan. Kayak kasus ayam gue yang hilang.
giphy.com |
Tags:
Dailylife
ngerokok ?? ngk baik loo ngerokok
ReplyDeleteehe
DeleteKenapa nggak minta ganti sama Huda, Zi? Tapi ya udahlah, kan bisa buat makan bareng-bareng. Lumayan bisa berbagi, siapa tau berkah~ :)
ReplyDeleteorangnya enggak peduli juga, yog :((
Deleteseminggu selama akhir bulan, gue cuma bisa liatin orang makan doang jadinya, yog.
Ketika ngontrak, saya jadi bisa merasakan gimana perjuangan umik di rumah tiap hari masak.
ReplyDeleteSaya yang dapat jadwal piket masak seminggu sekali aja pusing mikir menu untuk sehari. Gimana mamak mamak di luar sana :/
sama :(
Deletehuhuhu
berapa harga rokok disana om?
ReplyDeletemacem-macem.
Deletetapi rokok indo pasti lebih mahal harganya.
GUA BARU TAU KALO LO NGEROKOK. BERHENTI NGGAK?!!!!
ReplyDeletebacod
Deletekampret memang
ReplyDelete