Beberapa kali, gue sempat
kefikiran untuk mengganti nama domain gue ini. Tapi, selalu saja ada alasan
untuk mengurungkan hal tersebut. Kalau ditanya, kenapa gue menamai blog gue
Mahasantri, jawabannya adalah simpel. Gue lulus dari pondok pesantren, yang mana
siswanya disebut sebagai santri, kemudian lulus dari pondok pesantren dan
kuliah di perguruan tinggi. Jika, biasanya para pelajar di kampus disebut
sebagai mahasiswa, karena gue lulusan pondok pesantren, maka dipanggil sebagai
Mahasantri.
Sesederhana itu.
Tapi, gue mulai memikirkan
kembali makna Mahasantri. Terlebih, saat gue mengetikan Mahasantri di google,
bukan nama blog gue lagi yang berada di urutan teratas. Asyu!
Jadi, siapakah Mahasantri itu?
Jawaban gue akan tetap, mereka
yang lulusan pesantren. Itu menurut gue aja sih, kalau berbeda pendapat ya
silahkan. Enggak akan gue banting juga kok.
Baca juga: Enaknya jadi santri!
Gue bahagia, melihat antusias
anak muda yang ingin belajar agama. Tetapi yang gue sayangkan adalah prilaku
sebagian orangnya, ada yang suka mengkafirkan pilihan orang lain. Gini-gini, semua orang
itu mempelajari agama dengan cara yang berbeda-beda. Dan dari guru yang
berbeda-beda pula. Pelajarannya? Ya tentu saja sama dong, anak kuda! Mereka
mempelajari agama.
Fenemona yang gue perhatikan
saat ini adalah mereka para anak-anak muda yang suka belajar agama islam,
sebagian dari mereka dengan gampangnya mengkafirkan sesuatu. Merasa pilihannya
paling benar, lalu pilihan orang lain terlihat hina, salah, bahkan
menganggapnya suatu hal mudhorot, yang seharusnya tidak dilakukan.
Mayoritas pemeluk agama Islam
di Indonesia kan bermadzhab Syafii ya. Seorang Imam Syafii rahimahumullahu bahkan
belajar dari imam besar lainnya. Beliau belajar dari Imam Maliki
rahimahumullah, madzhab dari Maliki. Lalu apakah menyalahkan ajaran gurunya,
karena berbeda pendapat dengannya? Kan enggak. Kemudian beliau pun juga belajar
dari muridnya Imam Hanafi rahimahumullahu. Lalu apakah beliau berlaga sok tau,
karena telah belajar dari madzhab yang pertama, yaitu mazhab Imam Maliki? Kan enggak
juga.
Bahkan, madzhab Imam Syafii pun
dibedakan menjadi Madzhab Qodim serta Jadid. Murid-muridnya pun pasti
berselisih paham, tapi enggak ada tuh yang dengan gampangnya mengucapkan, “Kamu
Kafir!!” ke saudara muslimnya yang lain, sesama murid dari Imam Syafii.
Jadi, bukan kah alangkah
baiknya kita mencontoh perilaku dari murid-muridnya Imam Syafii? Kalau gue sih
iya. Lagipula, para guru-guru, para masayikh, yang memberikan ilmunya
secara gratis disini pun tidak mengajarkan untuk saling membenci ke pemeluk
agama lain. Apalagi ke sesama saudara-saudara muslim.
Mengamalkan apa yang diajarkan
para ulama-ulama di Indonesia itu perlu. Terlebih, jika memang menyerukan untuk
melakukan hal-hal baik. Tapi, apakah kamu juga akan mengikuti perkataan para
gurumu, jika mereka menyerukan kemungkaran?
Baca juga: Belajar di kampus Al-Azhar Mesir
Rasanya enggak baik, jika
terlalu fanatik dan mengidolakan guru yang mengajarimu agama, lalu guru-guru
lain, yang kamu enggak pernah hadiri acaranya, kamu pandang rendah. Belajar ilmu
agama itu seru kok, jika kamu enggak merasa seperti gelas yang penuh.
Beberapa waktu yang lalu, gue
juga pernah bertemu dengan seseorang yang ingin sekali nikah muda. Kata dia,
nikah muda itu sunnah yang harus dikerjakan. Harus, wajib, enggak boleh enggak.
Tapi, mohon maaf sebelumnya nih. Sebenarnya kan, sunnah yang dianjurkan Baginda
Rasul kan banyak banget nih. Seperti, sholat dhuha, puasa senin kamis, shalat
witir, duduk saat minum, dan masih banyak lagi. Apakah tidak mau dikerjakan
hal-hal seperti itu dulu, sebelum melangkahkan kaki menuju nikah muda?
Antusias untuk mempelajari
agama, seharusnya di mulai mempelajari hal yang mudah terlebih dahulu. Sepinter
apapun kamu, kalau misalnya kuliah di Al-Azhar dan masuk fakultas Syariah
Islamiyah, bab awal dari pelajaran Fiqih adalah Taharah. Belajar, cara
wudhu yang benar. Kemudian setelah itu dilanjutkan, tata cara shalat yang benar
seperti apa. Kalau menurut madzhab Syafii itu, bacaan Al-Fatihah itu wajib
enggak sih? Kalau menurut madzhab yang lain, bagaimana? Lalu, saat imam membaca
Al-Fatihah, apakah kita tidak perlu membaca Al-Fatihah lagi?
Menurut gue sih, memang
seharusnya belajar agama di mulai dari hal-hal yang ringan. Enggak langsung, ke
bab nikah. Bab Jihad. Kalau menurut kamu bagaimana?
Tags:
Dailylife
Bentar, barusan iseng ngecek mahasantri di google dan yang paling atas dari yufidstore. Mari mengheningkan kepala sejenak...
ReplyDeleteKalau di gue paling atas Alif ID. Yufidstore kedua. Hahaha
DeleteYang penting mahasantri si blog ini udah termasuk pejwan, Ji.
ReplyDeleteOiya, nggak hanya tentang mengkafir-kafirkan sesama sih. Mereka juga menganggap bacaan mereka paling benar saat tilawah. dalam mengaji, kita memang belajar makhroj, tapi apa semua orang di dunia bisa menyebut huruf dengan aksen yang sama persis? waktu itu lagi ikutan pengajian gitu, mereka seperti meledek tentang cara baca alquran orang negara lain. seolah mau bilang bahwa bacaan orang indonesia yang paling tepat.
btw, yang tentang nikah muda itu, dia sendiri yang bilang kalo itu sunnah, kenapa jadi keharusan yang mewajibkan... sampe skrg saya masih bingung asal muasal yg menganjurkan nikah muda dan diaminkan jutaan ummat ini... pernah sekilas dengar mereka mengatakan bahwa dengan nikah muda, kita bisa memperbanyak panji-panji pembela islam. kayak para pejuang palestina itu...
juga ttg tata cara salat tiap mazhab juga berbeda kan... kalo kita salat di masjid madinah dan dilihat orang yang mazhabnya berbeda di sana, yakin pasti mereka bakal keheranan, kenapa pas tasyahud akhir kok cepet banget... ya, kalo emang mau memperdalam ilmu agama, paling nggak, mulai dari dasar atau dari yang disebut rukun islam rukun imannya dulu...
5 aja artikel kayak gini lu bikin, udah bisa gue jadi ustaz. Hahaha mantaf
ReplyDeleteMasha Allah, ada gunanya juga ya blog ini hahaha.
ReplyDeleteBtw ya yang paling disebel selain nikah muda adalah.... poligami. Hadeh bacot.