Sudah memasuki bulan ke-6, gue
tinggal di Jordan. Dan sudah selama 6 bulan itu juga, untuk pertama kalinya,
gue enggak mencukur rambut. Kalau biasanya, setiap bulan gue akan mendatangi
tukang potong rambut, tapi untuk tahun ini, sepertinya gue akan mencoba untuk
menahan hal tersebut. Bisa atau enggaknya, ya lihat nanti aja.
Tapi, bukan persoalan rambut
yang akan gue bahas kali ini.
Sudah 6 bulan di negara baru,
Jordan, gue masih belum menemukan makanan khas yang rasanya enak di lidah, dan
yang terpenting, harganya yang terjangkau.
Untuk saat ini belum.
Ditambah lagi, pemerintah di
sini yang menerapkan peraturan sangat ketat selama beberapa bulan terakhir
karena virus Corona ini. Lumayan susah untuk menemukan makanan khas di sini.
Di awal, tepatnya akhir Maret,
gue merasakan peraturan yang mengharuskan para penduduk di sini untuk berada di
rumah untuk beberapa hari. Selanjutnya, mulai diperbolehkan keluar dari jam 10
pagi sampai jam 6 sore. Kemudian berubah lagi. Lalu, peraturan yang sekarang
ini sudah membolehkan untuk beraktifitas seperti biasa. Masjid pun juga telah
dibuka. Hanya saja, cafe atau pun tempat makan dan juga toko-toko, akan tutup
di jam 11 malam.
**
Karena gue sempat tinggal di
Mesir beberapa tahun, jadi selalu saja gue membandingkan keadaan di sini dengan
di Mesir.
Mulai dari toko-toko di sini,
rasanya gue belum pernah menemukan toko-toko yang buka selama 24 jam. Mungkin ada.
Tapi, gue belum pernah menemukan hal tersebut. Lagi pula, gue jadi mikir-mikir
lagi untuk keluar rumah saat tengah malam, karena struktur jalanan di daerah
gue yang sekarang ini, di Irbid, jalan nya naik turun. Meskipun enggak separah
di ibu kota Jordan, yaitu Amman.
Karena gue enggak bego-bego
banget, dari pada gue keluar rumah dengan jalanan seperti itu, lebih baik gue
goleran di kasur sambil nonton Youtube.
Di Mesir, gue akan dengan mudahnya
untuk menemukan makanan enak serta murah. Mulai dari Tomiyah, Full, Kusyari,
Togin, Kibdah, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ini salah satu contoh toko penjual Tomiyah |
Ini penjual Kusyari |
Di sini?
Susah bos.
Kebanyakan yang dijual di sini
merupakan Shawarma. Tau Shawarma? Mirip kebab yang biasanya ditemui di depan
supermarket dekat rumah kalian itu lah.
Mungkin untuk pertama kali,
rasanya enak. Tapi selanjutnya, gue bosan dan enggak mau makan makanan
tersebut. Karena biasa aja rasanya. Lebih enak nyeduh Indomie rebus pake telor.
Bentar, gue nyeduh Indomie dulu
ya.
**
Selain shawarma, yang banyak
dijual di sini adalah ayam goreng kentucky. Di dekat rumah gue sendiri, mungkin
ada tiga toko penjual ayam kentucky yang berbeda. Dan rasanya? Biasa aja.
FYI, mungkin karena lidah orang
Indonesia, yang biasanya sering nyemil micin dan bumbu-bumbu lainnya, saat tiba
memakan makanan di negara lain rasanya hambar. Biasa aja gitu.
Hambar.
Pagi hari di Mesir, gue akan
berangkat menuju penjual Tomiyah, untuk membeli segala makanan yang enak-enak. Biasanya
yang gue beli adalah sebagai berikut,
Tomiyah a.k.a Gorengan
Bazinjan a.k.a Terong
Fuul a.k.a Selai kacang yang hambar
Baydoh a.k.a Telur
Batotis a.k.a Kentang
Eisy balady a.k.a Roti gandum,
tapi berbentuk bulat
Dan tidak lupa meminta Salatoh
a.k.a
Itu kalo gue bangun pagi loh
ya. Kalau enggak bangun, ya paling gue dateng ke rumah temen gue yang udah beli
makanan-makanan tersebut.
Tapi butuh perjuangan juga
sebenarnya untuk bisa sampai ke penjual Tomiyah. Karena untuk bisa mendatangi
tempat tersebut, harus siap mental untuk melewati sekumpulan anjing kampung. Selain
mengumpulkan niat untuk bangun dari kasur tentunya ya.
Gue masih bingung juga, kenapa
di Mesir banyak banget anjing liar yang berkeliaran. Sedangkan di Jordan, gue
belum pernah nemu deh kayaknya.
Meskipun sebenarnya anjing
kampung di Mesir itu mirip-mirip kucing yang biasa ditemui di Indonesia. Kita bentak
dikit, nangis. Terus ngadu.
Ga lucu bangsat.
Tapi tetep aja, kan kita ga
paham pola fikir hewan. Kalau temen-temen yang kelakuannya kayak hewan sih,
beberapa ada. Banyak.
Kalau misalnya, sok-sok-an
ganggu anjing kampung terus dikejar? MAMPUS.
Mau lari, nanti malah digigit. Mau gigit balik, yaaaa.... ya enggak mungkin juga kan ya.
Ini kenapa malah jadi ngebahas
anjing kampung yang ada di Mesir.
Oke, fokus.
Gara-gara di block sama cewe
yang ditaksir, jadi susah fokus gini sih.
Karena kebiasaan sarapan yang
enak enggak bisa terwujudkan di Jordan, mungkin itu juga yang membuat diri gue
jadi lebih gampang menurunkan berat badan. Biasanya gue hanya minum segelas
kopi hitam di pagi hari.
Oh, gue tuh nulis juga loh
beberapa tips yang gue terapkan untuk menurunkan berat badan. Dan minum kopi,
merupakan salah satu cara yang gue lakukan untuk menurunkan berat badan. Kalian bisa membacanya di blog gue ini loh. Hehe.
Tapi, se-enak apa pun makanan
yang biasa gue temukan di Mesir, jajanan pagi yang biasa gue temuin di Jakarta
masih paling mantap.
Bubur ayam, nasi uduk, lontong
sayur, gorengan yang jenis nya buanyak banget, dan pastinya bisa sarapan bareng
orangtua.
Pantesan tiap liburan, berat
badan gue selalu naik ya.
Dan karena saat ini sedang
ingin menurunkan masa lemak dan membangun masaa otot, jadinya yang biasanya gue
lakukan adalah dengan minum kopi hitam. Meskipun beberapa kali, sebelum minum
kopi hitam, gue makan Indomie double + 3 telor juga sih.
Nah, kalau kalian sendiri, apa yang biasanya kalian makan saat sarapan?
jarang sarapan, tapi teh hangat manis wajib kayaknya buat nambah tenaga. :D
ReplyDeleteSarapan atau makan siang di rumah, isinya hampir selalu sama, selalu ada lauk dan ada sayurnya. Kadang kalau inget minum susu dan lemon madu juga sebelum makan. Kalau lagi di luar rumah, ya biasanya yang adanya aja apa, kalau sreg dimakan, gak sreg yauda tar aja sekalian makan siang.
ReplyDeleteBtw, udah lama gak mampir ke blog Paoji, pas dibuka iklannya makin banyak ya, subhanallah sampe aku kaget mau close atau lanjut baca hahaha.
Ji, blog lu dihack apa gimana deh? Kok susah banget ngeklik postingannya, mesti buka archive segala.
ReplyDeleteIni kebayang banget sih Ji, hidup di tempat lain yang nggak pake MSG sebagai kunci utama kenikmatan yang haqiqi.
ReplyDeleteMungkin ini nggak bisa dibandingkan, tapi waktu ke SG, aku pikir rasa makanannya bakal 11-12 sama Indonesia, eh ternyata waktu pesen mie (lupa namanya apa), hambar bener! Padahal kuahnya kelihatan pekat dan berbumbu. Ujung-ujungnya makan nasi lemak deh