Sebagai anak rantau, hidup nyaman itu merupakan sebuah hal penting. Karena, bisa mempengaruhi segala aktifitas yang kita lakukan. Bukan berarti hidup nyaman itu bergelimang harta loh ya. Gue pun mau. Tapi hidup nyaman itu bisa diciptakan dari beberapa faktor. Bisa, dari tempat tinggal yang enak serta bersih. Makanan murah tapi enak. Dan lain sebagainya.
Tempat tinggal gue di Jordan
sekarang sangat berbeda sekali dengan saat gue dulu di Mesir. Tapi, bukan itu
yang akan gue tuliskan di postingan kali ini.
**
Sudah jalan delapan bulan
tinggal di Jordan, gue masih belum nemu tuh makanan murah di sini. Bahkan harga
tempe ataupun jajanan seperti risol yang dibikin oleh para mahasiswa Indonesia
di sini harganya mahal banget. Skill masak gue juga enggak nambah-nambah lagi. Ah,
jadi pengen punya PS 5.
Ga nyambung, goblok.
Enggak seperti jajanan Mesir
yang udah mah harganya terjangkau, dan aduhai sekali rasanya. Paling enak saat
dimakan ketika sedang laper-lapernya. Pas enggak laper, sebenernya biasa aja
sih. Tapi anggap aja, makanannya enak banget aja lah ya. Iya. Oke? Love you.
Kenapa makin kesini, tulisan
gue jadi semakin menjijikan sih bngst.
Pertama kali gue menginjakan
kaki di Mesir dulu, gue diantarkan ke suatu bangunan. Terlihat sudah tua, serta
jalanannya yang kurang pencahayaan. Saat memasuki rumah pertama gue sebagai
mahasiswa rantau di sana, mata gue ditunjukkan oleh pemandangan sebuah ruangan
yang sempit.
Di sebelah kanan, terdapat
koper-koper anak baru. Lalu saat mata gue arahkan ke sudut sebelah kiri,
terdapat sebuah meja makan serta dua buah kursi.
Tas selempang yang gue bawa
sejak tadi, gue taruh di atas meja makan. Lalu gue duduk di atas karpet sebelah
meja makan, sambil mengatakan,
“Kecil banget ini rumah Yaa
Allah. Apa salah hamba?”
Yang tentu saja gue ucapakan
dalam hati.
Rumah gue saat itu terdiri dari
dua kamar, ruang tengah, dan satu kamar mandi. Dan taukah anda jumlah penghuni
di rumah tersebut ada berapa? Sembilan orang. Manusia loh ini, bukan hamster.
Jadi anak baru berjumlah lima
orang, termasuk gue. Dan empat orang lain nya senior. Lalu, bagaimana pembagian
kamar? Ya tentu saja, satu kamar di isi oleh senior semua. Serta satu kamar
lagi di isi oleh kami para juniornya.
Apakah mantap?
MANTAP MANIA, ANAK KUDA!
Jadi kamar gue itu, kalau
misalnya gue telat tidur, dan anak-anak lain telah terlelap tidur di kamar, ya
otomatis gue tidur di ruang tengah. Begitu juga dengan kamar para senior. Bahkan,
kamar senior gue ukurannya lebih kecil.
Begitu juga dengan saat
waktunya makan.
Dengan orang rumah yang
berjumlah sembilan orang, setiap anak piket satu hari untuk memasak sebanyak
dua kali. Gampang banget lah ya.
Bagi mereka.
Bagi gue yang masih belum bisa
masak, hal seperti ini yang bikin deg-degan.
Pagi hari setelah shalat
Shubuh, gue chat temen gue yang cewe. Minta diajarkan resep makanan yang enggak
ribet. Katanya, kalau mau yang simpel bikin aja telur dadar terus dikasih
sambal.
Ah sepertinya mudah.
Hari itu, gue telah pergi ke
pasar untuk membeli barang-barang yang diperlukan. Cabe, bawang merah, serta
bawang putih, kemudian beberapa telur, serta susu kurma dan juga Doritos biru. Ya
suka-suka gue lah mau beli apa. Kok ngatur-ngatur?!!
Mungkin, penyebab gue enggak
punya temen banyak, karena ini kali ya.
Langkah pertama adalah dengan
mencuci barang belanjaan. Lalu setelah dipastikan bersih, potong bahan-bahan
berupa cabe, bawang merah dan putih dengan ukuran besar. Kata temen gue, karena
nantinya akan di blender, jadi enggak masalah untuk dipotong besar.
Langkah selanjutnya adalah
dengan memasukkan telur ke satu wadah, agar nantinya bisa diaduk rata. Dan pastikan
juga agar memecahkan telur, lalu menaruh isi nya ke satu wadah. Bukan pas masih
telur utuh, lalu digabungin dalam satu wadah. Jangan ngadi-ngadi antum.
Bikin sambal, check!
Bikin telur dadar, check!
Selanjutnya adalah memasak
nasi. Dan tentu saja, ini adalah pertama kalinya dalam kehidupan gue untuk
memasak nasi di atas kompor. Kalau biasanya masak nasi dengan rice cooker lalu
sekali pencet, bisa langsung dinikmati. Kalau di rumah gue tentu saja berbeda.
Pertama-tama adalah dengan
membersihkan panci yang sebelumnya digunakan untuk membuat nasi. Proses pembersihan
ini lumayan ribet, karena sebelumnya memang kami para anak rumah, memakan nasi
kopi ya. Agak-agak krenyes. Tentu saja itu semua akibat dari teman gue yang
terlalu lama membiarkan panci diatas kompor hingga yang tadinya dari beras putih, menjadi nasi kehitaman.
Kalau pertama kali nyoba makanan tersebut, rasanya
memang agak aneh. Tapi, selanjutnya akan terasa, “Yaudah lah. Dari pada enggak
makan” ya seperti itu lah kira-kira.
Lalu setelah memasak semua
makanan yang telah dibuat, apakah teman satu rumah gue bahagia? Oh tentu saja
tidak. Masakan yang telah gue buat, terlihat sepi peminat. Setelah mencicipi
hasil masakan sendiri, gue pun bergumam,
“CUIIIH”
https://giphy.com/ |
Enggak bergumam juga sih, lebih tepatnya setelah gue masukan telur dadar tersebut, langsung gue keluarkan lagi. Asin banget, asu. Rasanya tuh kayak bukan memakan telur dadar, tapi lebih seperti minum air laut.
Sebenarnya resep yang diajarkan oleh temen gue itu benar. Tapi, berhubung gue ingin ber-'improvisasi' sedikit, jadinya malah enggak layak untuk dimakan oleh manusia. Kalau pun dikasih kucing, belum tentu juga si kucingnya mau makan.
**
Berhubung senior rumah gue
baik-baik,sepertinya, mereka
mencontohkan piket masak yang baik itu seperti apa. Saat pagi hari, dia telah
memasak berbagai macam makanan. Mulai dari tempe mendoan beserta sambalnya,
lalu sop yang sampai sekarang gue enggak tau namanya, tapi rasanya enak. Lupa nama,
ingat rasa gitu lah.
Karena di sini kami para anak
rantau memakan makan tersebut dalam satu nampan yang besar, maka kurang lebih
bisa terlihat kepribadian setiap orang nya. Ada yang makan pelan-pelan, dan ada
juga yang buru-buru. Takut lauknya kehabisan. Dan kebetulan, anak-anak rumah
gue adalah tipikal yang kedua. Harus buru-buru. Enggak boleh enggak. Berhenti sama
dengan mati. Alias ya-antum-enggak-dapet-lauk-enak-mampus-makanya-kalau-kunyah-jangan-kelamaan-ya-antum.
Begitu juga saat malam hari.
Seusai jamaah shalat Isya di masjid, senior gue yang kebetulan piket masak malam ini, membawa sekantong plastik berwarna hitam di tangan kanan nya, dan di tangan kirinya ada racun.
MADUUUU DI TANGAN KANANMU, RACUN DI TANGAN KIRIMU.... UWOOO
Terkadang, gue muak dengan tingkah laku yang gue punya ini.
Setiap kali piket masak, senior gue ini akan selalu menyalakan musik dari ponselnya. Lalu, mengikuti alunan musik sambil memotong sayuran serta meracik bumbu makanan. Biasanya, dia akan memutar lagu Brazil. Dan gue pun kurang tau, dengan judul lagu nya.
Setelah menghabiskan satu jam memasak, dia akan keluar dapur sambil membawa nampan besar lalu dijatuhkan keras-keras di ruang tengah agar terdengar oleh anak-anak lain.
Kemudian anggota rumah yang
lain akan bergegas menuju kamar mandi atau dapur terlebih dahulu untuk mencuci
tangan, dan membantu senior untuk membawakan panci yang berisikan nasi dan juga
lauknya.
Bunyi nampan di rumah kami, seperti suara bel penanda waktu makan. Ganteng banget gue.
Apaan sih, enggak jelas, asu.
Karena lauk yang dimasak kali ini adalah ayam berkuah, tentu saja kami akan mempercepat jari kami untuk mengambil ayam.
Apakah kami memakannya tanpa menggunakan sendok? Ya tentu saja tidak.
Apakah tidak panas? Ya kau pikir sendiri lah. Sudah tentu panas. Prinsip anak rumah gue, "Terlambat berarti mati!".
Dan setiap ada yang masak ayam, pasti akan selalu ada kejadian,
“Lu nyari apa?”
“Ati ayam nya”
“Telat” sambil memasukkan hati
ayam ke dalam mulutnya. Dan tersenyum setelahnya.
Rasanya.... pengeeeen banget gue gampar.
Kadang gue yang ingin mendaratkan telapak tangan gue di muka temen gue. Dan kadang, temen gue yang ingin melakukan hal tersebut ke gue.
Tapi itu dulu pas gue di Mesir.
https://giphy.com/ |
Saat gue tinggal di Jordan, enggak akan ada tuh pengalaman seperti itu.
Semua orang makan dengan pelan.
Karena tentu saja, jumlah lauknya lebih banyak dari jumlah orang rumah.
Jika dulu gue tinggal sembilan
orang dengan porsi lauk untuk lima orang. Di sini malah kebalikannya. Makanya,
di sini kalau sedang makan masih bisa sambil ngobrol santai menceritakan
keseharian atau tingkah manusia yang menyebalkan. Bahkan, kalau pun ingin main
game dahulu, enggak perlu khawatir dengan kehabisan lauk. Karena, tentu saja
masih banyak.
Enggak akan ada rasa takut
karena hati ayamnya sudah dihabiskan.
Sebenarnya kalau mencari hal
yang enggak enak hidup di sini, akan selalu saja ketemu. Mulai dari harga
makanan yang enggak masuk akal, biaya hidup yang mahal, teman-teman yang enggak
se-seru saat di Mesir.
Tapi, bukankah lebih baik untuk
memperbanyak rasa syukur?
Duh, gue kalau nulis hal bijak
gini, berasa keren banget.
Jadi, mari lah kita mulai untuk
memperbanyak rasa syukur ya, anak kuda.
Peace, love, and kue bantal.
Hehehe seru banget mas Fauzi ceritanya. Jadi bisa ikut membayangkan mas dan teman-teman berebut makanan agar nggak kehabisan ayam 😂
ReplyDeleteEniho, mas Fauzi kenapa pindah dari Mesir ke Jordan? Apakah lanjut master degree atau bagaimana? Semoga di Jordan meski teman-temannya nggak seasik di Mesir tetap bisa memberi pengalaman berharga untuk mas. Karena semakin banyak pengalaman berharganya, akan semakin banyak yang diceritakan 🤣
Ditunggu kelanjutan ceritanya, mas 😁
syukurla klo bisa terbayangkan, bagaimana rusuhnya anak rumah gue saat makan
Deleteehehe
pengalaman berharga pasti ada aja
tinggal pilah pilih aja nih, cerita yg mana akan gue tulis di blog
Aku juga jadi ikutan kebayang saat-saat rebutan makanan yang walaupun ngeselin tapi momen-momen kayak gini malah membuat rindu ya 😂
ReplyDeleteJadi, lebih enak makan sambil rebutan atau makan dengan santai kak? Wkwk
lumayan
Deletetapi kalo difikir lagi, kayak aneh aja. brantem gara'' ga dapet ati ayam
tentu saja makan santai, sambil liat temen" lain berebutan saat makan
ehe
Saya dulu saat di Jakarta justru lebih parah dari itu
ReplyDeleteSatu kamar ukruan 3 kali tiga diisi empat orang. dan itu pun kamar mandi diluar beberengan, jaraknya lumayan jauh pula.
Kalau masak didepan pintu kamar.
Saya yang kebagian masak, saya sering masak sambal tomat. Ayam, ah tidak kebeli.
kurang lebih, mirip" ceritanya seperti bapak saya
Deletehohoho
ikut terbawa suasana��
ReplyDelete