Meskipun bentuk badan gue sering mengintimidasi orang lain, tapi sejatinya gue memang ingin terlihat seperti itu sih.
Baru paragraf awal udah kaga jelas, jingan
Kemarin, gue mendatangi toko service handphone. Letaknya 20 menit dari rumah jika berjalan kaki.
Gue mengenakkan hoodie berwarna maroon, serta celana jins panjang. Meskipun langitnya terang benderang, anginnya lumayan kencang.
Di saat itu, masih banyak toko yang tutup. Maklum, masih di suasana lebaran. Mungkin lagi mudik pulang kampung ke daerah lainnya.
Alasan gue menyambangi daerah yang di tempati oleh banyak service handphone tidak lain adalah karena gue ingin membetulkan LCD dari hape gue. Google Pixel 7.
Tempat yang yang gue tuju ternyata masih tutup. Beruntungnya masih ada beberapa toko lainnya yang buka.
Dari satu toko ke toko lainnya, gue menanyakan hal yang sama, “Bisa benerin LCD hape?” “Hape apa memangnya?” “Google Pixel 7” “Wah enggak bisa”.
Dari 10 toko yang gue datangi, jawabannya selalu sama.
Sudah mulai menyerah.
Gue mulai duduk di pinggir jalan, kemudian fikiran gue melayang membayangkan diri gue untuk beralih ke iPhone. Karena banyak sekali toko yang membuka jasa untuk perbaikan iPhone maupun iPad. Tapi Google Pixel?
Kadang gue kesel sendiri karena ingin terlihat sok edgy, sok paling beda. Kalau ada kejadian seperti ini, gue juga yang pusing.
Di saat gue hendak pulang, gue sambangi toko terakhir. Jawabannya sama.
Tapi, ketika gue beranjak keluar toko beberapa langkah, penjaga toko tersebut memanggil gue untuk datang kembali. Setelahnya dia memanggil temannya yang berada di ruangan lain.
Tidak lama temannya keluar dari sebuah ruangan, gue berbicara dengannya. Menanyakan apakah bisa untuk mengganti LCD handphone ini.
Dan dia bisa memperbaiki LCD Google Pixel!!
Meskipun baru bisa esok hari.
Yes!
Enggak sia-sia gue keliling menyambangi tiap toko di sore hari ini.
Ketika perjalanan pulang ke rumah, gue melepaskan hoodie yang sedang digunakan. Tampilan di sore itu cukup minimalis.
Gue mengenakan kaos putih lengan pendek, celana jins berwarna biru, serta kacamata hitam 2 dinar yang gue beli beberapa hari lalu.
Sepanjang jalan, beberapa orang memperhatikan diri gue. Scanning pakaian yang gue kenakan mulai dari bawah sampai ke atas.
Risih.
Gue enggak berniat untuk ke-geeran dengan tatapan orang lain. Tapi nyatanya selalu tidak enak jika ditatap oleh orang lain mengenai apa yang kita gunakan.
Beberapa waktu lalu, ketika gue menghadiri teman gue yang baru selesai melakukan sidang perkuliahan di Jakarta, gue ditarik oleh teman gue menuju kantin yang telah dipenuhi oleh beberapa teman-teman dekatnya. Untuk merayakan atas selesainya sidang yang teman gue jalani.
Baru saja pintu kantin di buka, teman-temannya telah duduk di meja yang berada di tengah ruangan. Bentuk meja tersebut bundar, dan ada 7 orang yang duduk mengelilingnya.
Ketika langkah kaki gue mendekat ke arah meja, seluruh temannya menatap gue mulai dari kaki hingga ujung kepala.
Di kondisi tersebut, gue selalu memikirkan bahwa apakah penampilan gue ini aneh. Atau ada notes di punggung. Atau yang paling liar, apakah ada tulisan kafir di jidat gue? Atau sebenarnya di belakang gue ada sosok harimau tak kasat mata?
Mungkin gue belum terbiasa aja.
Toh, ketika gue masih menjadi santri, enggak pernah berani gue beradu pandang, menatap lawan bicara perempuan. Sekarang? Sudah terbiasa.
Waktu yang akan menjawabnya.
Yang penting perjalanan gue di sore hari mengelilingi toko service handphone tidak sia-sia.